Jakarta - Di tengah-tengah euphoria keberhasilan pemerintah membawa kembali uang rakyatnya ke tanah air melalui program tax amnesty, tiba-tiba keadaan berubah drastis setelah pemilihan Presiden AS selesai. Pemerintah yang tadinya bisa tarik napas dan tersenyum melihat perbaikan data-data di pasar, hanya bisa sesaat semringah.
Pasca diumumkannya pemenang pemilu di AS oleh Donald Trump yang di luar ekspektasi banyak orang bukan hanya rakyat Amerika, pasar keuangan negara berkembang termasuk Indonesia langsung terdepresiasi cukup tajam.
Nilai tukar rupiah yang tadinya sudah menembus level sekitar Rp 12.000/US$, terdepresiasi ke kisaran Rp 13.000/US$. Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ikut terjun bebas.
Catatan fundamental ekonomi yang kinclong tak berdaya melawan isu kemenangan Trump, ditambah lagi ada kegaduhan politik yang terjadi di dalam negeri.
Bahana Securities pun harus berhitung kembali dalam memperkirakan level nilai tukar rupiah, indeks dan saham-saham yang layak dikoleksi hingga tahun depan.
''Kita belum tahu pasti seperti apa kebijakan yang akan diambil AS karena kabinet presiden terpilih pun belum ketahuan, tapi market sudah lari duluan," ungkap Kepala Riset dan Kebijakan Strategis Bahana Securities, Harry Su dalam risetnya seperti dikutip detikFinance, Minggu (20/11/2016).
''Sementara itu, aksi demo yang terjadi pada bulan ini menambah risiko politik di dalam negeri yang membuat investor tidak nyaman untuk berinvestasi," tambah Harry.
Dalam catatan Bahana, ada dana sekitar Rp 10 triliun sudah keluar dari bond market dan sekitar Rp 8 triliun keluar dari equity market hanya dalam dua hari saja, akibatnya rupiah terdepresiasi cukup tajam, meski bank sentral sudah melakukan stabilisasi pasar.
Padahal, hasil riset Bahana memperlihatkan setiap 1% rupiah terdepresiasi, maka pertumbuhan pasar saham akan tergerus 0,9%, hampir seimbang dampaknya. Tak heran saat rupiah melemah, indeks saham juga ikut melorot.
Alhasil, Bahana merevisi ke bawah perkiraan level nilai tukar sampai akhir tahun ini dari yang tadinya bakal berada pada kisaran Rp 12.800 karena melihat keberhasilan program tax amnesty, akhirnya ditinjau kembali ke level Rp 13.200, setelah hasil Pilpres AS diumumkan.
Perkiraan 2017, karena Trump sudah akan membentuk kabinetnya dan siap bekerja, rupiah diperkirakan hanya akan berada di kisaran Rp 12.800, padahal tadinya Bahana meyakini nilai tukar akan menguat ke kisaran Rp 12.500/US$.
''Pemerintah masih harus tetap waspada karenavolatility masih akan membayangi pasar keuangan Indonesia karena pasar masih menanti susunan kabinet presiden terpilih dan bagaimana kinerja Trump selama 100 hari pertama," terang Harry.
''Kalau bisa jangan lagi ditambah dengan persoalan di dalam negeri, Indonesia perlu segera membenahi diri terutama dengan persoalan politik," imbuhnya.
Dengan melemahnya nilai tukar, perkiraan indeks pun tidak luput dari koreksi ke bawah. Tadinya Bahana memperkirakan indeks akan berada pada level 5.600 pada akhir tahun ini, namun karena kegaduhan di pasar global dan situasi politik yang masih menghantui pasar domestik, indeks mungkin hanya akan berada di kisaran 5.200.
Perkiraan tahun depan, karena Trump sudah akan memperlihatkan program kerjanya, indeks diperkirakan hanya akan berada di kisaran 5.900, padahal tadinya Bahana meyakini indeks akan melejit ke kisaran 6.600.
Untuk menahan hantaman eksternal ini, sebenarnya Indonesia sudah memiliki pondasi yang kuat dengan ekonomi yang tumbuh stabil 5%, saat ekonomi negara-negara lain masih lesu.
Sehingga meskipun nantinya Trump merealisasikan janji kampanyenya yang akan lebih melindungi produksi dalam negeri AS, Indonesia masih bisa tumbuh dari konsumsi rumah tangga yang masih menjadi motor penggerak utama perekonomian di dalam negeri.
Apalagi kalau pemerintah bisa fokus membenahi serapan anggaran khususnya untuk infrastruktur, maka dua hal ini sudah bisa menjadi senjata pamungkas atas kekhawatiran pasar pasca kemenangan Trump.
Keamanan politik juga tidak bisa diabaikan, pemerintah harus bisa menciptakan iklim politik yang kondusif untuk membuat investor kembali percaya berinvestasi di Indonesia.
''Bagi investor asing, kestabilan politik menjadi isu penting dalam melakukan investasi. 'Reformasi pajak masih harus terus dilanjutkan untuk menurunkan corporate tax rate, sehingga Indonesia bisa lebih kompetitif dibanding Singapura," terang dia.
Saat ini, corporate tax rate Indonesia sekitar 25%, dengan reformasi pajak, diharapkan level ini bisa turun ke kisaran 17% - 18%, sehingga meskipun nominalnya turun, namun akan tumbuh dari sisi volume, yang pada akhirnya penerimaan pajak tetap akan naik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar