Senin, 09 November 2015

Jual Beli menurut ilmu Fiqih


Jual Beli menurut ilmu Fiqih


A. PENGERTIAN

1. Menurut bahasa
Jual beli (البيع) secara bahasa merupakan masdar dari kata بعت diucapkan يبيع-باء bermakna memiliki dan membeli. Kata aslinya keluar dari kata الباع karena masing-masing dari dua orang yang melakukan akad meneruskannya untuk mengambil dan memberikan sesuatu. Orang yang melakukan penjualan dan pembelian disebut البيعان.
Jual beli diartikan juga “pertukaran sesuatu dengan sesuatu”. Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah dan at-tijarah.
2. Menurut syara’
Pengertian jual beli (البيع) secara syara’ adalah tukar menukar harta dengan harta untuk memiliki dan memberi kepemilikan (Mughnii 3/560).
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a. Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d. Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah)
f. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul dengan cara yang sesuai dengan syara. (Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, hal. 329)
g. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan dan memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan. (Fiqh al-Sunnah, hal. 126)
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
– Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar
– Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
– Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
– Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.
B. DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
– Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198)
Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Imam Bukhari rh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad, telah menceritakan kepadaku Ibnu Uyainah, dari Amr, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa di masa jahiliyah, Ukaz, Majinnah dan Zul-Majaz merupakan pasar-pasar tahunan. Mereka merasa berdosa bila melakukan perniagaan dalam musim haji. (Tafsir Ibnu Katsir)
– Allah Swt berfirman, “mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 275)
Mereka berkata, “sesungguhnya jual beli sama dengan riba”. Hal ini jelas merupakan pembangkangan terhadap hukum syara’ yakni menyamakan yang halal dan yang haram.
Kemudian firman Allah Swt, “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat ini bahwa ayat ini untuk menyanggah protes yang mereka katakan, padahal mereka mengetahui bahwa Allah membedakan antara jual beli dan riba secara hukum. (Tafsir Ibnu Katsir)
– Allah Swt berfirman, “Dan persaksikanlah, apabila kamu berjual beli”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 282)
Ibnu Juraij berkata, “Barang siapa yang melakukan jual beli, hendaklah ia mengadakan persaksian”.
Qatadah rh berkata bahwa disebutkan kepada kami bahwa Abu Sulaiman al-Mur’isyi (salah seorang yang berguru kepada Ka’b) mengatakan kepada murid-muridnya, “Tahukah kalian tentang seorang yang teraniaya yang berdoa kepada Tuhannya tetapi doanya tidak dikabulkan?”. Mereka menjawab, “Mengapa bisa demikian?”.
Abu Sulaiman berkata, “Dia adalah seorang lelaki yang menjual suatu barang untuk waktu tertentu tetapi ia tidak memakai saksi dan tidak pula mencatatnya. Ketika tiba masa pembayaran ternyata si pembeli mengingkarinya. Lalu ia berdoa kepada Tuhan-nya tetapi doanya tidak dikabulkan.
Demikian itu karena dia telah berbuat durhaka kepada Tuhannya yaitu tidak menuruti perintah-Nya yang menganjurkannya untuk mencatat atau mempersaksikan hal itu”. (Tafsir Ibnu Katsir)
Abu Sa’id, Asy-Sya’bi, Ar-Rabi’ ibnu Anas, Al-Hasan, Ibnu Juraij dan Ibnu Zaid serta lainnya mengatakan bahwa pada mulanya menulis utang piutang dan jual beli itu hukumnya wajib, kemudian di-mansukh oleh firman Allah Swt, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 283)
Dalil lain yang memperkuat hal ini ialah sebuah hadits yang menceritakan tentang syariat umat sebelum kita tetapi diakui syariat kita serta tidak diingkari yang isinya menceritakan tiada kewajiban untuk menulis dan mengadakan persaksian.
Imam Ahmad berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Ja’far ibnu Rabi’ah, dari Abdur Rahman ibnu Hurmudz, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw yang mengisahkan dalam sabdanya, “Dahulu ada seorang lelaki dari kalangan Bani Israil meminta meminta kepada seseorang yang juga dari kalangan Bani Israil agar meminjaminya uang sebesar 1000 dinar. Maka pemilik uang berkata kepadanya, “Datangkanlah kepadaku para saksi agar transaksiku ini dipersaksikan oleh mereka”.”
Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai saksi”. Pemilik uang berkata, “Datangkanlah kepadaku seorang yang menjaminmu”. Ia menjawab, “Cukuplah Allah sebagai penjamin”. Pemilik uang berkata, “Engkau benar”. Lalu pemilik uang itu memberikan utang itu kepadanya untuk waktu yang ditentukan. Lalu ia berangkat melalui jalan laut (naik perahu).
Setelah keperluannya selesai, lalu ia mencari perahu yang akan mengantarkannya ke tempat pemilik uang karena saat pelunasan utangnya hamper tiba. Akan tetapi ia tidak menjumpai sebuah perahu pun.
Akhirnya ia mengambil sebatang kayu, lalu melubangi tengahnya, kemudian uang 1000 dinar itu dimasukkan ke dalam kayu itu berikut sepucuk surat buat alamat yang dituju. Lalu lubang itu ia sumbat rapat, kemudian ia datang ke tepi laut dan kayu itu ia lemparkan ke laut seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau telah mengetahui bahwa aku pernah berutang kepada si Fulan sebanyak 1000 dinar. Ketika ia meminta kepadaku seorang penjamin, maka kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai penjaminku’, dan ternyata ia rela dengan hal tersebut.
Ia meminta saksi kepadaku, lalu kukatakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’ dan ternyata ia rela dengan hal tersebut. Sesungguhnya aku telah berusaha keras untuk menemukan kendaraan (perahu) untuk mengirimkan ini kepada orang yang telah memberiku utang tetapi aku tidak menemukan sebuah perahu pun. Sesungguhnya sekarang aku titipkan ini kepada Engkau”. Lalu ia melemparkan kayu itu ke laut hingga tenggelam ke dalamnya. Sesudah itu ia berangkat dan tetap mencari kendaraan perahu untuk menjuju ke negeri pemilik piutang.
Lalu lelaki yang memberinya utang keluar dan melihat-lihat barangkali ada perahu yang tiba membawa uangnya. Ternyata yang ia jumpai adalah sebatang kayu tadi yang di dalamnya terdapat uang. Maka ia memungut kayu itu untuk keluarganya sebagai kayu bakar.
Ketika ia membelah kayu itu, ternyata ia menemukan sejumlah harta dan sepucuk surat itu. Kemudian lelaki yang berutang tiba kepadanya dan datang kepadanya dengan membawa uang 1000 dinar sambil berkata, “Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu untuk sampai kepadamu dengan membawa uangmu tetapi ternyata aku tidak dapat menemukan sebuah perahu pun sebelum aku tiba dengan perahu ini”.
Ia bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimkan sesuatu kepadaku?”. Lelaki yang berutang balik bertanya, “Bukankah aku telah katakatan kepadamu bahwa aku tidak menemukan sebuah perahu pun sebelum perahu yang datang membawaku sekarang?’.
Ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah membayarkan utangmu melalui apa yang engkau kirimkan di dalam kayu tersebut. Maka kembalilah kamu dengan 1000 dinarmu itu dengan sadar. (HR Bukhari)
– Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”. (Q.S. An Nisaa’ 4 : 29)
Ibnu Katsir rh berkata tentang ayat di atas bahwa Allah Swt melarang hamba-hamba-Nya yang beriman memakan harta sebagian dari mereka atas sebagian yang lain dengan cara yang batil yakni melalui usaha yang tidak diakui oleh syariat seperti cara riba dan judi serta cara-cara lainnya dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan.
Sekalipun pada lahiriyahnya seperti memakai cara-cara yang sesuai syara’ tetapi Allah lebih mengetahui bahwa sesungguhnya para pelakunya hanyalah semata-mata menjalankan riba tetapi dengan cara hailah (tipu muslihat). (Tafsir Ibnu Katsir)
“kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kalian”, yakni janganlah kalian menjalankan usaha yang menyebabkan perbuatan yang diharamkan tetapi berniagalah menurut syariat dan dilakukan suka sama suka (saling ridha) di antara penjual dan pembeli serta carilah keuntungan dengan cara yang diakui oleh syariat. (Tafsir Ibnu Katsir)
– Allah Swt berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S Al Qashash 28 : 77)
Mereka harus senantiasa ingat akan nasibnya dari dunia yang sangat sedikit dan sebentar. Bila kenikmatan yang sedikit ini tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kehidupan yang abadi tentu mereka akan menyesal untuk selamanya. Sementara sebagian orang menjadikan ayat ini sebagai dorongan untuk meningkatkan kehidupan duniawi, padahal tanpa menggunakan ayat al-Qur’an pun kebanyakan manusia terus berlomba dalam mencari dan meningkatkan kehidupan dunia.
Sebaliknya, karena kesibukan duniawi yang tidak pasti ini, banyak sekali manusia melupakan tugasnya sebagai hamba dalam menghadapi hari akhirat yang pasti terjadi. Karena itu sangat diperlukan bagi mereka penjelasan tentang hakikat keni’matan dunia, bahwa keni’matan tersebut Allah sediakan demi bekal akhirat. Dan manusia diingatkan bahwa waktu yang tersedia untuk membekali diri demi kepntingan akhirat sangat terbatas. Karena itu janganlah manusia lalai akan keterbatasan waktu ini.
Ibnu Abi-Ashim mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ bukan berarti jangan melupakan keni’matan lahir di dunia, melainkan umurmu. Artinya gunakanlah usiamu untuk akhirat.”
Dan Ibnul Mubarak juga berpandangan yang sama, ia berkata: “Yang dimaksud dengan ‘jangan lupa nasibmu dari dunia’ adalah beramal ibadah dalam taat kepada Allah di dunia untuk meraih pahala di akhirat.”
Dua ungkapan diatas bukanlah ungkapan yang baru melainkan kelanjutan dari ungkapan para pendahulunya dari para ahli tafsir baik generasi shahabat, tabiin atau tabi’ut tabi’in.
Dalam menafsirkan ayat ini Ath-Thabari mengatakan: “Janganlah kamu tinggalkan nasibmu dan kesempatanmu dari dunia untuk berjuang demi meraih nasibmu dari akhirat, maka kamu terus beramal ibadah yang dapat menyelamatkanmu dari siksaan Allah.”
Dia juga mengutip beberapa ungkapan para shahabat, dianataranya: Ibnu Abbas: “Kamu beramal didunia untuk akhiratmu.” Mujahid: “Beramal dengan mentaati Allah.”
Zaid: ”Janganlah kamu lupa mengutamakan dari kehidupan duniamu untuk akhiratmu, sebab kamu hanya akan mendapatkan di akhiratmu dari apa yang kamu kerjakan didunia dengan memanfaatkan apa yang Allah rizkikan kepadamu.”
Dari beberapa pernyataan shahabat diatas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan “jangan melupakan nasibmu dari dunia” adalah peringatan jangan lalai terhadap kesempatan untuk beramal yang tidak lama lagi akan berakhir. Artinya menyuruh manusia agar mampu menggunakan semua karunia Allah demi keselamatan dan kemaslahatan akhirat.
Dengan demikian, maka makna ayat ini sangat erat hubungannya antara awal, tengah dan penghujung ayat. Dan tidak ada hubungan dengan perintah untuk berlomba dalam mencari kehidupan duniawi atau meningkatkan kemajuan ekonomi. Sebab tanpa perintah, umumnya manusia terus berlomba untuk meraih kehidupan dunia.
2. As-Sunnah
Nabi Saw ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Saw menjawab, “Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur”. (HR. Bazzaar, dishahihkan oleh Hakim dari Rifa’ah ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadits di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dipastikan saling meridhai”. (HR Baihaqi dan Ibnu Majah).
Rasulullah Saw bersabda, “Jual beli harus dengan suka sama suka (saling ridha) dan khiyar adalah sesudah transaksi, dan tidak halal bagi seorang muslim menipu muslim lainnya”. (HR Ibnu Jarir).
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Pasar Ukadz, Mujnah dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar yang sudah ada sejak zaman jahiliyah. Ketika datang Islam, mereka membencinya lalu turunlah ayat : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”. (Q.S. Al-Baqarah 2 : 198) dan Nabi Saw bersabda, “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar selama mereka belum berpisah”. (Muttafaq ‘alaih)
Rasulullah Saw bersabda, “Pedagang yang jujur (terpercaya) bersama (di akhirat) dengan para nabi, Shiddiqin dan syuhada”. (HR Tirmidzi)
3. Ijma
Para ulama telah sepakat bahwa hukum jual beli itu mubah (dibolehkan) dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Hukumnya berubah menjadi haram kalau meninggalkan kewajiban karena terlalu sibuk sampai dia tidak menjalankan kewajiban ibadahnya.
Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli[1475]. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah 62 : 9-10)
[1475]. Maksudnya: apabila imam telah naik mimbar dan muazzin telah azan di hari Jum’at, maka kaum muslimin wajib bersegera memenuhi panggilan muazzin itu dan meninggalkan semua pekerjaannya.
Hukumnya berubah menjadi haram apabila melakukan jual beli dengan tujuan untuk membantu kemaksiatan atau melakukan perbuatan haram.
Allah Swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-Ma’idah 5 : 2)
Menurut Imam asy-Syatibi (ahli fiqih bermadzhab Maliki), hukumnya bisa berubah menjadi wajib dalam kondisi tertentu seperti kalau terjadi ihtikar (penimbunan barang) sehingga persediaan barang hilang dari pasar dan harga melonjak naik.
C. RUKUN JUAL BELI
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat :
1. Akad (ijab qabul)
Ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan qabul dilakukan sebab ijab qabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Ijab qabul boleh dilakukan dengan lisan dan tulisan.
Ijab qabul dalam bentuk perkataan dan/atau dalam bentuk perbuatan yaitu saling memberi (penyerahan barang dan penerimaan uang).
Menurut fatwa ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecilpun harus ada ijab qabul tetapi menurut Imam an-Nawawi dan ulama muta’akhirin syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil tidak dengan ijab qabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan seperti kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab qabul, ini adalah pendapat jumhur (al-Kahlani, Subul al-Salam, hal. 4).
2. Orang-orang yang berakad (subjek) – البيعان
Ada 2 pihak yaitu bai’ (penjual) dan mustari (pembeli).
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Ma’kud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’.
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Nilai tukar pengganti barang ini yaitu dengan sesuatu yang memenuhi 3 syarat yaitu bisa menyimpan nilai (store of value), bisa menilai atau menghargakan suatu barang (unit of account) dan bisa dijadikan alat tukar (medium of exchange).
D. SYARAT JUAL BELI
1. Akad (ijab qabul)
– Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab atau sebaliknya.
– Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul.
Masalah ijab qabul ini para ulama berbeda pendapat, diantaranya sebagai berikut :
a. Madzhab Syafi’i
“Tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab qabul) yang diucapkan”. (Al-Jazairi, hal.
155)
Syarat shighat menurut madzhab Syafi’i :
1. Berhadap-hadapan
Pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya yakni harus sesuai dengan orang yang dituju.
Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya menjual kepadamu!”. Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
2. Ditujukan pada seluruh badan yang akad
Tidak sah berkata, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.
3. Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
Orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab kecuali jika diwakilkan.
4. Harus menyebutkan barang dan harga
5. Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6. Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
Jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan, jual beli yang dilakukannya batal.
7. Ijab qabul tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak.
8. Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9. Tidak berubah lafazh
Lafazh ijab tidak boleh berubah seperti perkataan, “Saya jual dengan 5 dirham”, kemudian berkata lagi, “Saya menjualnya dengan 10 dirham”, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan belum ada qabul.
10. Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
11. Tidak dikaitkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan dengan akad.
12. Tidak dikaitkan dengan waktu
b. Madzhab Hambali
Syarat shighat ada 3 yaitu :
1. Berada di tempat yang sama
2. Tidak terpisah
Antara ijab dan qabul tidak terdapat pemisah yang menggambarkan adanya penolakan.
3. Tidak dikatkan dengan sesuatu
Akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak berhubungan dengan akad
c. Imam Malik berpendapat :
“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”. (al-Qurthubi, hal. 128)
Syarat shighat menurut madzhab Maliki :
1. Tempat akad harus bersatu
2. Pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
Di antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisah yang mengandung unsur penolakan dari salah satu aqid secara adat.
d. Madzhab Hanafi
Syarat shighat :
1. Qabul harus sesuai dengan ijab
2. Ijab dan qabul harus bersatu
Yakni berhubungan antara ijab dan qabul walaupun tempatnya tidak bersatu
e. Pendapat kelima adalah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu :
“Aqad bi al-mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran”. (al-Jazairi, hal. 156)
2. Orang yang berakad (aqid)
– Baligh dan berakal.
Sehingga tidak mudah ditipu orang. Batal akad anak kecil, orang gila dan orang bodoh sebab mereka tidak pandai mengendalikan harta.
Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”. (Q.S. An-Nisa 4 : 5)
[268]. Orang yang belum sempurna akalnya ialah anak yatim yang belum baligh atau orang dewasa yang jahil(tidak dapat mengatur harta bendanya).
– Beragama Islam.
Syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misal penjualan budak muslim kepada orang kafir sebab kemungkinan besar pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah Swt melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin.
Allah Swt berfirman, “Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisaa 4 : 141)
Syarat aqid menurut 4 madzhab :
a. Madzhab Syafi’i
1. Dewasa atau sadar
Aqid harus balig dan berakal, menyadari dan mampu memelihara din dan hartanya. Dengan demikian, akad anak mumayyiz dianggap tidak sah.
2. Tidak dipaksa atau tanpa hak
3. Islam
Dianggap tidak sah, orang kafir yang membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab yang berkaitan dengan dinul Islam seperti hadits, kitab-kitab fiqih atau membeli budak yang muslim.
Allah Swt berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menghina orang mukmin”. (Q.S. An-Nisa’ 4 : 141)
4. Pembeli bukan musuh
Umat Islam dilarang menjual barang, khususnya senjata kepada musuh yang akan digunakan untuk memerangi dan menghancurkan kaum muslimin.
b. Madzhab Hambali
1. Dewasa
Aqid harus dewasa (baligh dan berakal) kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsur kemashlahatan.
2. Ada keridhaan
Masing-masing aqid harus saling meridhai yaitu tidak ada unsur paksaan. Ulama Hanabilah menghukumi makruh bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga di luar harga umum.
c. Madzhab Maliki
1. Penjual dan pembeli harus mumayyiz
2. Keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
3. Keduanya dalam keadaan sukarela
Jual beli berdasarkan paksaan adalah tidak sah.
4. Penjual harus sadar dan dewasa
Ulama Malikiyah tidak mensyaratkan harus Islam bagi aqid kecuali dalam membeli hamba yang muslim dan membeli mushaf.
d. Madzhab Hanafi
1. Berakal dan mumayyiz
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayyiz dan berakal secara umum terbagi 3 :
– Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hibah
– Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni, seperti tidak sah talak oleh anak kecil
– Tasharruf yang berada di antara kemanfaatan dan kemudharatan yaitu aktifitas yang boleh dilakukan tetapi atas seizin wali.
2. Berbilang
Sehingga tidak sah akad yang dilakukan seorang diri. Minimal 2 orang yang terdiri dari penjual dan pembeli.
3. Ma’kud ‘alaih (objek)
Barang yang diperjualbelikan (objek) :
a. Suci (halal dan thayyib). Tidak sah penjualan benda-benda haram atau bahkan syubhat.
b. Bermanfaat menurut syara’.
c. Tidak ditaklikan, yaitu dikaitkan dengan hal lain, seperti “jika ayahku pergi, kujual motor ini kepadamu”.
d. Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan, “Kujual motor ini kepadamu selama 1 tahun” maka penjualan tersebut tidak sah karena jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
e. Dapat diserahkan cepat atau lambat, contoh :
– Tidaklah sah menjual binatang yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi
– Barang-barang yang sudah hilang
– Barang-barang yang sulit diperoleh kembali karena samar, seperti seekor ikan yang jatuh ke kolam sehingga tidak diketahui dengan pasti ikan tersebut.
f. Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain :
– Dengan tidak seizin pemiliknya
– Barang-barang yang baru akan menjadi pemiliknya
g. Diketahui (dilihat).
Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau ukuran-ukuran lainnya. Maka tidak sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak.
Syarat ma’qud ‘alaih menurut madzhab :
– Madzhab Syafi’i
1. Suci
2. Bermanfaat
3. Dapat diserahkan
4. Barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5. Jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad
– Madzhab Hambali
1. Harus berupa harta
Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’. Ulama Hanabilah mengharamkan jual beli Al-Qur’an, baik untuk muslim maupun kafir sebab Al-Qur’an itu wajib diagungkan, sedangkan menjualnya berarti tidak mengagungkannya.
Begitu pula mereka melarang jual beli barang-barang mainan dan barang-barang yang tidak bermanfaat lainnya.
2. Milik penjual secara sempurna
Dipandang tidak sah jual beli fudhul, yakni menjual barang tanpa seizin pemiliknya.
3. Barang dapat diserahkan ketika akad
4. Barang diketahui oleh penjual dan pembeli
Barang harus jelas dan diketahui kedua belah pihak yang melangsungkan akad.
5. Harga diketahui oleh kedua belah pihak
6. Terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tidak sah
Barang, harga dan aqid harus terhindar dari unsur-unsur yang menjadikan akad tersebut menjadi tidak sah, seperti riba.
– Madzhab Maliki
1. Bukan barang yang dilarang syara’
2. Harus suci, maka tidak boleh menjual khamr dan lain-lain
3. Bermanfaat menurut pandangan syara’
4. Dapat diketahui oleh kedua orang yang berakad
5. Dapat diserahkan
– Madzhab Hanafi : (Alaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi Tartib Asy-Syarai’, juz 5, hal. 138-148)
1. Barang harus ada
Tidak boleh akad atas barang-barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak atau jual beli anak hewan yang masih dalam kandungan.
2. Harta harus kuat, tetap dan bernilai
Yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
3. Benda tersebut milik sendiri
4. Dapat diserahkan
4. Ada nilai tukar pengganti barang
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa yang bisa dijadikan standar nilai (harga) adalah dinar emas dan dirham perak.
Ibnu Khaldun rh berkata, “Allah telah menciptakan dua logam mulia, emas dan perak, sebagai standar ukuran nilai untuk seluruh bentuk simpanan harta kekayaan. Emas dan perak adalah benda yang disukai dan dipilih oleh penduduk dunia ini untuk menilai harta dan kekayaan.
Walaupun, karena berbagai keadaan, benda-benda lain didapat, namun tujuan utama dan akhirnya adalah menguasai emas dan perak. Semua benda lain senantiasa terkait perubahan harga pasar, namun itu tak berlaku pada emas dan perak. Keduanya-lah ukuran keuntungan, harta dan kekayaan”. (Ibnu Khaldun, Muqaddimah)
Syarat uang menurut Imam Al-Ghazali ada 3 yaitu :
— Penyimpan Nilai (Store of Value)
Yaitu uang harus bisa mempunyai nilai atau harga yang tetap (stabil).
— Satuan Perhitungan/Timbangan (Unit of Account)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai satuan perhitungan atau timbangan (Unit of Account) untuk menimbang atau menilai suatu barang atau jasa.
Allah Swt menjadikan uang dinar dan dirham sebagai hakim dan penengah di antara harta benda lainnya sehingga harta benda tersebut dapat diukur nilainya dengan uang dinar dan dirham (menjadi satuan nilai). (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)
— Alat Tukar (Medium of Exchange)
Yaitu uang harus bisa berfungsi sebagai alat tukar (Medium of Exchange) untuk melakukan transaksi perdagangan barang atau jasa.
Uang dinar dan dirham menjadi perantara untuk memperoleh barang-barang lainnya. Karena uang tidak dapat memiliki manfaat pada dirinya sendiri, namun ia memiliki manfaat bila dipergunakan untuk hal-hal yang lain. (Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, hal 222)
Kenapa emas dan perak? Menurut Al-Ghazali dikarenakan kedua barang tambang itulah yang dapat tahan lama dan mempunyai keistimewaan dibanding dengan barang yang lain serta keduanya mempunyai nilai atau harga yang sama (stabil).
Al-Maqrizi, ulama abad ke-8 Hijriyah, salah seorang murid Ibnu Khaldun. Beliau memangku jabatan hakim (qadhi al-Qudah) madzhab Maliki pada masa amirat Sultan Barquq (784 – 801 H). (Zainab al-Khudairi, Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, hal. 16)
Pada tahun 791 H, Sultan Barquq mengangkat al-Maqrizi sebagai muhtasib di Kairo. Jabatan tersebut diembannya selama 2 tahun. Pada masa ini, al-Maqrizi mulai banyak bersentuhan dengan berbagai permasalahan pasar, perdagangan dan mudharabah sehingga perhatiannya terfokus pada harga-harga yang berlaku, asal-usul uang dan kaidah-kaidah timbangan. (Hammad bin Abdurrahman al-Janidal, Manahij al-Bahitsin fi al-iqtishad al-Islamii, 2/208)
Menurut al-Maqrizi, baik pada masa sebelum atau setelah kedatangan Islam, uang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan harga barang dan nilai upah. Untuk mencapai tujuan ini, uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak. (Al-Maqrizi, al-Nuqud al-‘Arabiyah al-Islamiyah wa ‘ilm al-Namyat, hal. 73)
E. Hukum dan Sifat Jual Beli
Ditinjau dari hukum dan sifat jual beli, jumhur ulama membagi jual beli menjadi 2 macam :
1. Jual beli yang sah (shahih)
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syara’, baik rukun maupun syaratnya.
2. Jual beli yang tidak sah
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun sehingga jual beli menjadi rusak (fasid) atau batal. Dengan kata lain menurut jumhur ulama, rusak dan batal memiliki arti yang sama.
Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi 3 yaitu :
1. Jual beli shahih
Adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
2. Jual beli batal
Adalah jual beli yang tidak memenuhi salah satu rukun atau yang tidak sesuai dengan syariat, yakni orang yang akad bukan ahlinya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
3. Jual beli fasid (rusak)
Adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Adapun dalam masalah ibadah, ulama Hanafiyah sepakat dengan jumhur ulama bahwa batal dan fasad adalah sama.
F. JUAL BELI YANG DILARANG DALAM ISLAM
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam, Wahbah al-Zuhaily meringkasnya sbb :
1. Terlarang Sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan shahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal, dapat memilih dan mampu ber-tasharruf secara bebas dan baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah sbb :
a. Jual beli orang gila
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli orang yang gila tidak sah. Begitu pula sejenisnya, seperti orang mabuk dll.
b. Jual beli anak kecil
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli anak kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah kecuali dalam perkara-perkara ringan dan sepele. Menurut ulama Syafi’iyah, jual beli anak mumayyiz yang belum baligh tidak sah sebab tidak ada ahliah.
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah dan hanabilah, jual beli anak kecil dipandang sah jika diizinkan walinya. Mereka antara lain beralasan salah satu cara untuk melatih kedewasaan adalah dengan memberikan keleluasaan untuk jual beli, juga pengamalan atas firman Allah Swt.
Allah Swt berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An Nisaa’ 4 : 6)
c. Jual beli orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan shahih menurut jumhur jika barang yang dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-sifatnya).
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli orang buta itu tidak sah sebab ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan yang baik.
d. Jual beli terpaksa
Menurut ulama Hanafiyah, hukum jual beli orang terpaksa seperti jual beli fudhul (jual beli tanpa seizin pemiliknya) yakni ditangguhkan (mauquf).
Oleh karena itu keabsahannya ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa). Menurut ulama Malikiyah, tidak lazim baginya ada khiyar.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada keridaan ketika akad.
e. Jual beli fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang tanpa seizin pemiliknya. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, jual beli ditangguhkan sampai ada izin pemiliknya.
Adapun menurut ulama Hanabilah dan Syafi’iyah, jual beli fudhul tidak sah.
f. Jual beli orang yang terhalang
Maksud terhalang di sini adalah terhalang karena kebodohan, bangkrut ataupun sakit. Jual beli orang yang bodoh yang suka menghamburkan hartanya, menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah dan pendapat paling shahih di kalangan Hanabilah, harus ditangguhkan.
Adapun menurut ulama Syafi’iyah, jual beli tersebut tidak sah sebab tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan hukum, menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, jual beli tersebut tidak sah.
Menurut jumhur selain Malikiyah, jual beli orang sakit parah yang sudah mendekati mati hanya dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut Ulama Malikiyah, sepertiga dari hartanya hanya dibolehkan pada harta yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dll.
g. Jual beli malja’
Jual beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim. Jual beli tersebut fasid, menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut ulama Hanabilah.
2. Terlarang Sebab Shighat
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jual beli yang didasarkan pada keridaan di antara pihak yang melakukan akad, ada kesesuaian di antara ijab dan qabul, berada di satu tempat dan tidak terpisah oleh suatu pemisah.
Jual beli yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih diperdebatkan oleh para ulama adalah sbb :
a. Jual beli mu’athah
Adalah jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya tetapi tidak memakai ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan shahih apabila ada ijab dari salah satunya.
Begitu pula dibolehkan ijab qabul dengan isyarat, perbuatan atau cara-cara lain yang menunjukkan keridaan. Memberikan barang dan menerima uang dipandang sebagai shighat dengan perbuatan atau isyarat.
Adapun ulama Syafi’iyah (Muhammad asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal.3) berpendapat bahwa jual beli harus disertai ijab qabul yakni dengan shighat lafazh, tidak cukup dengan isyarat sebab keridhaan sifat itu tersembunyi dan tidak dapat diketahui kecuali dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan jual beli dengan isyarat bagi orang yang uzur.
Jual beli mu’athah dipandang tidak sah menurut ulama Hanafiyah tetapi sebagian ulama Syafi’iyah membolehkannya seperti Imam Nawawi. (As-Suyuti, Al-Asbah, hal. 89)
Menurutnya, hal itu dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Begitu pula Ibn Suraij dan Ar-Ruyani membolehkannya dalam hal-hal kecil.
b. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat berakad adalah sampainya surat atau utusan dari aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah seperti surat tidak sampai ke tangan yang dimaksud.
c. Jual beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati keshahihan akad dengan isyarat atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid. Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), akad tidak sah.
d. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli atas barang yang tidak ada di tempat adalah tidak sah sebab tidak memenuhi syarat terjadinya aqad.
e. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul
Hal ini dipandang tidak sah menurut kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika lebih baik, seperti meninggalkan harga, menurut ulama Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama Syafi’iyah menganggapnya tidak sah.
f. Jual beli munjiz
Adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang. Jual beli ini, dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah, dan batal menurut jumhur ulama.
3. Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang Jualan)
Secara umum, ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi’ (barang jualan) dan harga.
Ulama fiqih sepakat bahwa jual beli dianggap sah apabila ma’qud alaih adalah barang yang tetap atau bermanfaat, berbentuk, dapat diserahkan, dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak bersangkutan dengan milik orang lain dan tidak ada larangan dari syara’.
Selain itu, ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama tetapi diperselisihkan oleh ulama lainnya, di antaranya sbb :
a. Jual beli benda yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada
Jumhur ulama sepakat bahwa jual beli barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada adalah tidak sah.
b. Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan
Jual beli barang yang tidak dapat diserahkan, seperti burung yang ada di udara atau ikan yang ada di air tidak berdasarkan ketetapan syara’.
c. Jual beli gharar
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang mengandung kesamaran. Hal itu dilarang dalam Islam sebab Rasulullah Saw bersabda, “janganlah kamu membeli ikan dalam air karena jual beli seperti itu termasuk gharar (menipu)”. (HR Ahmad)
Menurut Ibn Jazi al-Maliki, gharar yang dilarag ada 10 macam :
– Tidak dapat diserahkan, seperti menjual anak hewan yang masih dalam kandungan induknya
– Tidak diketahui harga dan barang
– Tidak diketahui sifat barang atau harga
– Tidak diketahui ukuran barang dan harga
– Tidak diketahui masa yang akan datang seperti, “Saya jual kepadamu jika fulan datang”.
– Menghargakan dua kali pada satu barang
– Menjual barang yang diharapkan selamat
– Jual beli husha’ misalnya pembeli memegang tongkat, jika tongkat jatuh maka wajib membeli
– Jual beli munabadzah yaitu jual beli dengan cara lempar melempari seperti seseorang melempar bajunya, kemudian yang lain pun melembar bajunya maka jadilah jual beli
– Jual beli mulasamah apabila mengusap baju atau kain maka wajib membelinya
d. Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis
Ulama sepakat tentang larangan jual beli barang yang najis seperti khamr. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang barang yang terkena najis (al-mutanajis) yang tidak mungkin dihilangkan seperti minyak yang terkena bangkai tikus.
Ulama Hanafiyah membolehkannya untuk barang yang tidak untuk dimakan, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya setelah dibersihkan.
e. Jual beli air
Disepakati bahwa jual beli air yang dimiliki seperti air sumur atau yang disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan oleh jumhur ulama empat madzhab. Sebaliknya ulama zhahiriyah melarang secara mutlak.
Juga disepakati larangan atas jual beli air yang mubah yakni semua manusia boleh memanfaatkannya.
f. Jual beli barang yang tidak jelas (majhul)
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini adalah fasad, sedangkan menurut jumhur batal sebab akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
g. Jual beli barang yang tidak ada di tempat akad (ghaib), tidak dapat dilihat
Menurut ulama Hanafiyah, jual beli seperti ini dibolehkan tanpa harus menyebutkan sifat-sifatnya tetapi pembeli berhak khiyar ketika melihatnya.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan tidak sah, sedangkan ulama Malikiyah membolehkannya bila disebutkan sifat-sifatnya dan mensyaratkan 5 macam :
– Harus jauh sekali tempatnya
– Tidak boleh dekat sekali tempatnya
– Bukan pemiliknya harus ikut memberikan gambaran
– Harus meringkas sifat-sifat barang secara menyeluruh
– Penjual tidak boleh memberikan syarat
h. Jual beli sesuatu sebelum dipegang
Ulama Hanafiyah melarang jual beli barang yang dapat dipindahkan sebelum dipegang tetapi untuk barang yang tetap dibolehkan.
Sebaliknya, ulama Syafi’iyah melarangnya secara mutlak. Ulama Malikiyah melarang atas makanan, sedangkan ulama Hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan
Apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah tetapi belum matang, akadnya fasid menurut ulama Hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Adapun jika buah-buahan atau tumbuhan itu telah matang, akadnya dibolehkan.
4. Terlarang Sebab Syara’
Ulama sepakat membolehkan jual beli yang memenuhi persyaratan dan rukunnya. Namun demikian, ada beberapa masalah yang diperselisihkan di antara para ulama, di antaranya berikut ini :
a. Jual beli riba
Riba nasiah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama Hanafiyah tetapi batal menurut jumhur ulama.
b. Jual beli dengan uang dari barang yang diharamkan
Menurut ulama Hanafiyah termasuk fasid (rusak) dan terjadi akad atas nilainya, sedangkan menurut jumhur ulama adalah batal sebab ada nash yang jelas dari hadits Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah Saw mengharamkan jual beli khamr, bangkai, anjing dan patung.
c. Jual beli barang dari hasil pencegatan barang
Yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju (pasar) sehingga orang yang mencegatnya akan mendapat keuntungan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu makruh tahrim.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat, pembeli boleh khiyar. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jual beli seperti itu termasuk fasid.
d. Jual beli waktu adzan Jum’at
Yakni bagi laki-laki yang berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at. Menurut ulama Hanafiyah pada waktu adzan pertama. Sedangkan menurut ulama lainnya, adzan ketika khatib sudah berada di mimbar (adzan kedua).
Ulama Hanafiyah menghukumi makruh tahrim, sedangkan ulama Syafi’iyah menghukumi shahih haram. Tidak jadi pendapat yang masyhur di kalangan ulama Malikiyah dan tidak sah menurut ulama Hanabilah.
e. Jual beli anggur untuk dijadikan khamr
Menurut ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah zhahirnya shahih tetapi makruh. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah adalah batal.
f. Jual beli induk tanpa anaknya yang masih kecil
Hal itu dilarang sampai anaknya besar dan dapat mandiri.
g. Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain
Seseorang telah sepakat akan membeli suatu barang, namun masih dalam khiyar, kemudian datang orang lain yang menyuruh untuk membatalkannya sebab ia akan membelinya dengan harga yang tinggi.
h. Jual beli memakai syarat
Menurut ulama Hanafiyah, sah jika syarat tersebut baik, seperti, “Saya akan membeli baju ini dengan syarat bagian yang rusak dijahit dulu”.
Begitu pula menurut ulama Malikiyah membolehkannya jika bermanfaat. Menurut ulama Syafi’iyah dibolehkan jika syarat maslahat bagi salah satu pihak yang melangsungkan akad, sedangkan menurut ulama Hanabilah, tidak dibolehkan jika hanya bermanfaat bagi salah satu yang akad.
C. Hikmah Disyariatkannya Jual Beli
1. Pemenuhan kebutuhan hidup dengan adanya saling tukar menukar (pengganti)
2. Melapangkan persoalan kehidupan dan tetapnya alam sehingga bisa meredam perselisihan, perampokan, pencurian, pengkhianatan dan penipuan. (Nailul Authar 5/151)
D. Perbedaan antara Jual Beli dan Riba
1. Jual beli dihalalkan oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan.
2. Dalam aktifitas jual beli, antara untung dan rugi bergantung kepada kepandaian dan keuletan individu. Sedangkan dalam riba hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam semua aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak membutuhkan kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi kemandegan, penurunan dan kemalasan.
3. Dalam jual beli terdapat 2 kemungkinan untung atau rugi. Sedangkan dalam riba hanya ada untung dan menutup pintu rugi.
4. Dalam jual beli terjadi tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat untuk satu pihak saja bahkan saling menzalimi atau merugikan.
E. Macam-Macam Jual Beli
1. Ditinjau dari pertukaran (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, 4/595-596) :
a. Jual beli salam (pesanan)
Jual beli salam adalah jual beli melalui pesanan yakni jual beli dengan cara menyerahkan uang muka terlebih dahulu kemudian barang diantar belakangan.
b. Jual beli muqayyadah (barter)
Jual beli muqayyadah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat tukar.
d. Jual beli alat tukar dengan alat tukar
Jual beli alat tukar dengan alat tukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat tukar dengan alat tukar lainnya seperti dinar dengan dirham.
2. Ditinjau dari hukum
a. Jual beli Sah (halal)
Jual beli sah atau shahih adalah jual beli yang memenuhi ketentuan syariat. Hukumnya, sesuatu yang diperjualbelikan menjadi milik yang melakukan akad.
b. Jual beli fasid (rusak)
Jual beli fasid adalah jual beli yang sesuai dengan ketentuan syariat pada asalnya tetapi tidak sesuai dengan syariat pada sifatnya, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz tetapi bodoh sehingga menimbulkan pertentangan.
Menurut jumhur ulama fasid (rusak) dan batal (haram) memiliki arti yang sama. Adapun menurut ulama Hanafiyah membagi hukum dan sifat jual beli menjadi sah, batal dan fasid (rusak). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, 4/425)
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan ulama hanafiyah berpangkal pada jual beli atau akad yang tidak memenuhi ketentuan syara’ bedasarkan hadits Rasul.
Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkan maka tertolak. Begitu pula barangsiapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada agama kita, maka tertolak. (HR Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, jumhur ulama berpendapat bahwa akad atau jual beli yang keluar dari ketentuan syara’ harus ditolak atau tidak dianggap, baik dalam hal muamalat maupun ibadah.
Adapun menurut ulama Hanafiyah, dalam masalah muamalah terkadang ada suatu kemaslahatan yang tidak ada ketentuannya dari syara’ sehingga tidak sesuai atau ada kekurangan dengan ketentuan syariat. Akad seperti ini adalah rusak tetapi tidak batal. Dengan kata lain, ada akad yang batal saja dan ada pula yang rusak saja.
c. Jual beli batal (haram)
Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut :
1) Jual beli yang menjerumuskan ke dalam riba
i. Jual beli dengan cara ‘Inah dan Tawarruq
Rafi’ berkata, “Jual beli secara ‘inah berarti seseorang menjual barang kepada orang lain dengan pembayaran bertempo, lalu barang itu diserahkan kepada pembeli, kemudian penjual itu membeli kembali barangnya sebelum uangnya lunas dengan harga lebih rendah dari harga pertama.
Sementara itu jika barang yang diperjualbelikan mengandung cacat ketika berada di tangan pembeli, kemudian pembeli tersebut menjual lagi dengan harga yang lebih rendah, hal ini boleh karena berkurangnya harga sesuai dengan berkurangnya nilai barang tersebut. Transaksi ini tidak menyerupai riba.
Tawarruq artinya daun. Dalam hal ini adalah memperbanyak harta. Jadi, tawarruq diartikan sebagai kegiatan memperbanyak uang.
Contohnya adalah apabila orang yang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan maksud memperbanyak harta bukan karena ingin mendapatkan manfaat dari produknya. Barang yang diperdagangkannya hanyalah sebagai perantara bukan menjadi tujuan.
ii. Jual beli sistem salam (ijon)
Bedanya dengan kredit, kalau salam, barangnya yang diakhirkan, uangnya di depan.
iii. Jual beli dengan menggabungkan dua penjualan (akad) dalam dan satu transaksi
Contohnya penjual berkata, “aku menjual barang ini kepadamu seharga 10 dinar dengan tunai atau 20 dinar secara kredit”.
Contoh lain, penjual berkata, “Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat aku memakai kendaraanmu selama 1 bulan”.
iv. Jual beli secara paksa
Jual beli dengan paksaan dapat terjadi dengan 2 bentuk :
a) Ketika akad, yaitu adanya paksaan untuk melakukan akad. Jual beli ini adalah rusak dan dianggap tidak sah
b) Karena dililit utang atau beban yang berat sehingga menjual apa saja yang dimiliki dengan harga rendah
v. Jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan menjual sesuatu yang sudah dibeli dan belum diterima
Syarat sahnya jual beli adalah adanya penerimaan, maksudnya pembeli harus benar-benar menerima barang yang akan dibeli. Sebelum dia menerima barang tersebut maka tidak boleh dijual lagi.
2) Jual beli yang dilarang dalam Islam
i. Jual beli yang dapat menjauhkan dari ibadah
Maksudnya adalah ketika waktunya ibadah, pedagang malah menyibukkan diri dengan jual belinya sehingga mengakhirkan shalat berjamaah di masjid.
Dia kehilangan waktu shalat atau sengaja mengakhirkannya, maka jual beli yang dilakukannya haram (dilarang).
Sebagian besar orang menyangka bahwa shalat dapat menyibukkan mereka dari mencari rizki dan jual beli, padahal justru dengan shalat dan amal shalih-lah yang bisa mendatangkan barakah dan rahmat Allah Swt.
ii. Menjual barang-barang yang diharamkan
Barang yang diharamkan Allah Swt maka diharamkan pula jual beli barang tersebut.
iii. Menjual sesuatu yang tidak dimiliki
Misal ada seorang pembeli mendatangi seorang pedagang untuk membeli barang dagangan tertentu darinya sementara barang tersebut tidak ada pada pedagang tersebut.
Kemudian keduanya melakukan akad dan memperkirakan harganya, baik dengan pembayaran tunai ataupun tempo dan barang tersebut masih belum ada pada pedagang itu.
Selanjutnya pedagang itu membeli barang yang diinginkan pembeli di tempat lain lalu menyerahkannya kepada pembeli itu setelah keduanya ada kesepakatan harga dan cara pembayarannya baik secara tunai atau tempo.
iv. Jual beli ‘inah
Adalah apabila seseorang menjual suatu barang dagangan kepada orang lain dengan pembayaran tempo (kredit) kemudian orang itu (si penjual) membeli kembali barang itu secara tunai dengan harga lebih rendah.
Yang seharusnya kita lakukan ketika kita menjual barang secara tempo kepada seseorang adalah hendaknya kita membiarkan orang tersebut memiliki atau menjual barang itu kepada selain kita ketika dia membutuhkan uang dari hasil penjualan itu.
v. Jual beli najasy
Adalah menawar suatu barang dagangan dengan menambah harga secara terbuka, ketika datang seorang pembeli dia menawar lebih tinggi barang itu padahal dia tidak akan membelinya.
vi. Melakukan penjualan atas penjualan orang lain
Misal ada seseorang mendatangi seorang pedagang untuk membeli suatu barang dengan khiyar (untuk memilih, membatalkan atau meneruskan akad) selama 2 hari, 3 hari atau lebih.
Maka tidak dibolehkan kepada pedagang lain untuk mendatangi atau menawarkan kepada pembeli dengan berkata, “Tinggalkanlah barang yang sedang engkau beli dan saya akan memberikan kepadamu barang yang sama yang lebih bagus dengan harga lebih murah”.
vii. Jual beli secara gharar (penipuan)
Adalah apabila seorang penjual menipu saudara semuslim dengan cara menjual kepadanya barang dagangan yang di dalamnya terdapat cacat. Penjual itu mengetahui adanya cacat tetapi tidak memberitahukannya kepada pembeli.
3. Ditinjau dari benda (objek), jual beli dibagi menjadi 3 macam (Kifayatul Akhyar, Imam Taqiyuddin, hal. 329) :
a. Bendanya kelihatan
Ialah pada waktu melakukan akad jual beli, barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Contoh : membeli beras di toko atau pasar.
b. Sifat-sifat bendanya disebutkan dalam janji
Ialah jual beli salam (pesanan). Salam adalah jual beli yang tidak tunai. Salam mempunyai arti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu.
Maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad.
Dalam salam berlaku syarat jual beli dan tambahan :
i. Ketika melakukan akad salam, disebutkan sifat-sifatnya yang mungkin dijangkau oleh pembeli, baik berupa barang yang dapat ditakar, ditimbang ataupun diukur.
ii. Dalam akad harus disebutkan segala sesuatu yang bisa mempertinggi dan memperendah harga barang itu. Contoh, kalau kain, sebutkan jenis kainnya, kualitas nomor 1, 2 atau tiga dan seterusnya.
Pada intinya sebutkan semua identitasnya yang dikenal oleh orang-orang yang ahli di bidang ini yang menyangkut kualitas barang tersebut.
iii. Barang yang akan diserahkan hendaknya barang-barang yang biasa didapatkan di pasar.
iv. Harga hendaknya ditentukan di tempat akad berlangsung. (Fiqh Islam, Sulaiman Rasyid, 1985, hal. 178-179)
c. Bendanya tidak ada
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual beli yang dilarang dalam Islam karena bisa menimbulkan kerugian salah satu pihak.
Contoh, penjualan bawang merah dan wortel serta yang lainnya yang berada di dalam tanah adalah batal sebab hal tersebut merupakan perbuatan gharar.
“Sesungguhnya Nabi Saw melarang penjualan anggur sebelum hitam dan dilarang penjualan biji-bijian sebelum mengeras.
4. Ditinjau dari subjek (pelaku)
a. Dengan lisan
b. Dengan perantara
Penyampaian akad jual beli melalui wakalah (utusan), perantara, tulisan atau surat menyurat sama halnya dengan ucapan. Penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majlis akad.
c. Dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul secara lisan.
Seperti seseorang yang mengambil barang yang sudah dituliskan label harganya oleh penjual, kemudian pembeli melakukan pembayaran kepada penjual.
Jual beli yang demikian dilakukan tanpa sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli. Sebagian Syafi’iyah melarangnya karena ijab qabul adalah bagian dari rukun jual beli tapi sebagian Syafi’iyah lainnya, seperti Imam an-Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara demikian.
5. Ditinjau dari harga
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah)
b. Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu menjual dengan harga aslinya (at-tauliyah)
c. Jual beli rugi (al-khasarah)
d. Jual beli al-musawah yaitu penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi kedua orang yang akad saling meridhai.
6. Ditinjau dari pembayaran
a. Al-Murabahah (Jual beli dengan pembayaran di muka)
b. Bai’ as-Salam (Jual beli dengan pembayaran tangguh)

c. Bai’ al-Istishna (Jual beli berdasarkan Pesanan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar